BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seperti layaknya sebuah pembelajaran
bimbingan dan konseling juga membutuhkan apa yang dinamakan setrategi dalam
pelaksanaanya. Dalam hal untuk mengetahui strategi apa yang tepat untuk
digunakan kepada seorang yang hendak dibimbing (konseli) itulah seorang yang
hendak membimbing (konselor) membutuhkan kode etik untuk menjalankan profesinya
tersebut.
Dalam masalah bimbingan dan konseling kode
etik sangat dibutuhkan. kode etik dibutuhkan ketika seseorang (konselor) hendak
membimbing seorang atau individu (konseli) kearah pengembangan pribadinya.
peran kode etik yaitu sebagai acuan dan tuntunan dalam memberikan
masukan-masukan kepada konseli agar masukan yang diberikan oleh konselor tidak
menyeleweng atau keluar dari aturan-aturan, norma-norma yang berlaku
dimasyarakat maupun di kalangan konselor sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian, tujuan dan manfaat dari kode etik?
2. Apa saja peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan bk?
3. Menjelaskan Akreditasi, Sertifikasi,
dan Lisensi dalam BK?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memahami pengertian, tujuan, dan manfaat dari kode etik serta memahai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan BK dan profesionalisasi BK
2. Untuk
memenuhi nilai tugas mata kuliah Profesi BK
BAB
II
PEMBAHASAN
3.1.
Pengertian,
Tujuan Dan Manfaat Kode Etik Bimbingan Dan Konseling
2.1.1
Pengertian kode etik bk
Kode etik bimbingan dan konseling adalah
ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan yang harus di taati oleh siapa saja yang ingin
berkecimpung dalam bidang bimbingan dan konseling demi kebaikan.
Kode etik didalam bidang bimbingan dan konseling
dimaksudkan agar bimbingan dan konseling tetap dalam keadaan baik, serta di
harapkan akan menjadi semakin baik. Kode etik mengandung ketentuan-ketentuan
yang tidak boleh dilanggar atau diabaikan tanpa membawa akibat yang tidak
menyenangkan.
2.1.2. Tujuan Kode etik
a.
Panduan perilaku berkarakter dan
profesional bagi anggota organisasi dalam memberikan pelayanan BK
b. Membantu anggota organisasi dalam
membangun kegiatan pelayanan yang profesional
c. Mendukung misi organisasi profesi,
yaitu ABKIN
d. Landasan dan arah menghadapi
permasalahan dari dan mengenai diri anggota asosiasi
e. Melindungi anggota asosiasi dan
sasaran layanan (konseli)
f. Etika organisasi profesi BK adalah
kaidah nilai dan moral sebagai rujukan bagi anggota organisasi melaksanakan
tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan BK kepada konseli.
g. Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh
seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota.
h. Etika organisasi profesi BK adalah
kaidah nilai dan moral sebagai rujukan bagi anggota organisasi melaksanakan
tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan BK kepada konseli.
i. Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh
seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota.
2.1.3. Manfaat
Kode Etik
Munro
dalam Peter W.F.Davies (1997:97-106), menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat
empat manfaat kode etik profesi.
1. Kode etik profesi dapat meningkatkan
kredibilitas korporasi atau perusahaan. Adanya kode etik profesi, secara
internal mengikat semua pihak dengan norma-norma moral yang sama sehingga akan
mempermudah pimpinan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang sama untuk
kasus-kasus sejenis.
2.
Kode etik profesi menyediakan kemungkinan untuk mengatur
dirinya sendiri, bagi sebuah korporasi dan bisnis-bisnis pada umumnya. Pada
aras ini, kode etik profesi dapat mendewasakan sebuah korporasi dalam arti kode
etik profesi dapat membantu semua yang terlibat secara internal dalm korporasi
itu untuk meminimalisir ketimpangan-ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa
sebelum ada kode etik profesi. Pada tataran kongret, hadirnya kode etik profesi
dapat meminimalisir campur tangan pemerintah khususnya dalam ikatannnya dengan
kasus-kasus ketenagakerjaan dan prosedur perdagangan.
3.
Kode etik profesi dapat menjadi alat
atau sarana untuk menilai dan mengapresiasi tanggung jawab sosial perusahaan.
Dari segi efisiensi, rumusan dalam kode etik profesi mengenai tanggung jawab
sosial perusahaan hendaknya tidak terlalu umum. Sebaliknya, harus disertai
dengan keterangan yang cukup agar menghindarkan korporasi atau perusahaan dari
kecenderungan untuk melaksankan tanggung jawab sosial hanya pada tataran
minmal.
4. Kode etik profesi merupakan alat
yang ampuh untuk menghilangkan hal-hal yang belum jelas menyangkut norma-norma
moral, khususnya ketika terjadi konflik nilai.
3.2. Peraturan
Perundang-Undangan Yang Berkaitan dengan Bimbingan Konseling
A. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim
Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo dahulu.
UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
disahkan bulan Maret 1989 di lingkungan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
(PPB). Timbul berbagai kegusaran dan rasa was-was mengenai status tenaga
bimbingan dalam UUSPN, juga kekhawatiran mengenai implikasi dari pernyataan
dalam UUSPN terhadap masa depan jurussan PPB, nasib para lulusannya dan profesi
bimbingan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena ada inkonsistensi
antara Pasal 1 ayat 8 dengan Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 1 (8): “Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang
bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik”. (catatan:
disini kata membimbing disebut lebih dahulu).
Pasal 27 (1): “Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan
kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau
memberikan layanan teknis dalam bidang pendidikan”.
Pasal 27 (2): “Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik
pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di
bidang pendidikan, pustakawan, laboran, serta teknisi sumber belajar”.
Pasal 27 (3): “Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik
yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut
dosen”.
B. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim
Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo sekarang.
Dengan disahkannya UU NO 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, memberikan makna tersendiri bagi pengembangan profesi bimbingan dan
konseling, dan melahirkan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai peletakan dasar
pelaksanaan Undang-undang tersebut. PP no 27, 28, 29, dan 30 tahun 1990
mengatur tata laksana pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi serta mengakui sepenuhnya tenaga guru
dan tenaga lain yang berperan dalam dunia pendidikan, selain guru.
Peluang lain yang memberikan angin baru badi pengembangan
bimbingan dan konseling adalah SK. Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 026/1989, yang menyatakan, “adanya pekerjaan bimbingan dan
konseling yang berkedudukan seimbang dan sejajar dengan kegiatan belajar”. PP
tersebut memberikan legalisasi yang cukup mantap bagi keberadaan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah.
Aspek
legal keberadaan konselor juga dipeyung UURI No. 20 tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 yang menyatakan, “Pendidik
adalah tenaga kepandidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan ke khususannya, serta bepartisipasi dalam penyelenggaraan
pendidikan” (PB ABKIN, 2005: 3-4
3.3.
Profesionalisasi Profesi Bimbingan Dan Konseling
3.3.1. Akreditasi
memberikan derajat penilaian terhadap kondisi yang telah
dimiliki oleh satuan pengembang dan/atau pelaksana konseling, seperti Program
Studi Bimbingan dan Konseling di LPTK, yang menyatakan kelayakan program satuan
pendidikan atau lembaga yang dimaksud.
3.3.2. Sertifikasi
memberikan pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pelayanan konseling pada jenjang dan jenis setting tertentu,
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
tenaga profesi konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
3.3.3. Lisensi
memberikan ijin kepada tenaga
profesi bimbingan dan konseling untuk melaksanakan praktik pelayanan bimbingan
dan konseling pada jenjang dan setting tertentu, khususnya untuk praktik
mandiri (privat).
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kode Etik
konselor dibuat untuk mengatur perilaku konselor dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya serta mengatur secara moral peranan konselor di dalam masyarakat.
Pelaksanaan Kode Etik konselor masih belum optimal,
karena masih banyak konselor yang belum melaksanakan Kode Etik konselor itu
secara baik.
konselor di dalam masyarakat masih
menempatkan diri sebagai orang biasa yang tidak memiliki kewajiban khusus
secara moral untuk membangun kesadaran berpendidikan bagi masyarakat.
Adanya aturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan bimbingan konseling membantu bimbingan konseling menjadi
sangat diperlukan selain guru mata pelajaran
Seorang konselor mempunyai
profesionalisasi bimbingan dan konseling yang meliputi Akreditasi, Sertifikasi,
dan Lisensi dalam layanannya.
3.2. Saran
Seorang konselor harus benar-benar memahami
profesi yang dijalaninya dengan mengikuti etika yang diterapkan dalam
organisasi profesinya serta mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan harus memiliki profesionalisasi profesi bk yang didalamnya meliputi
Akreditasi, Sertifikasi, dan Lisensi.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno dan Erman Amti. 2004.
Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua (Jakarta: PustakaIlmu, 2004) .
W.S Winkel, Bimbingan dan Konseling
di Intitusi Pendidikan, Edisi Revisi.( Jakart a: Gramedia, 2005).
Anas Salahudin. Bimbingan & Konseling, CV Pustaka Setia, Bandung:2010
John Mcleod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Kencana, Jakarta:2008
Sofyan S.
Willis. Konseling Individual Teori dan Praktek. CV Alfabeta. Bandung: 2007
http://bimbingan-konseling.com/ pengertian-bimbingan-dan-konseling-oleh-beberap-
ahli.htm , diakses 25 Juni 2015 pukul
09.00 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar